Oleh : Ahmad Fikri Nabil, Unhasy
KabarIndonesia-Meskipun
BPK memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun karena tidak dapat
ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusionalnya, maka syarat
kedudukan hukum (legal standing) tidak terpenuhi. Sehingga, permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang
pengucapan putusan perkara 3/PUU-VI/2008 yang diajukan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Kamis (15/11), di Ruang Sidang MK.
Perkara ini
terkait dengan Pasal 34 ayat (2a) huruf b sepanjang menyangkut frasa
“ditetapkan menteri keuangan untuk”, dan frasa “atau instansi
pemerintah”, serta Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU No. 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) yang dianggap
membatasi kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa penerimaan
negara yang bersumber dari sektor perpajakan secara bebas dan mandiri.
Pasal
34 ayat (2a) UU Perpajakan berbunyi: “Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah: a. Pejabat dan
tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan. b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Sedangkan
Penjelasannya berbunyi: “Keterangan yang dapat diberitahukan adalah
identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang
perpajakan. Identitas Wajib pajak meliputi: 1. nama Wajib Pajak; 2.
Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. alamat Wajib Pajak; 4. alamat kegiatan
usaha; 5. merk usaha; dan/atau 6. kegiatan usaha wajib pajak. Informasi
yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
a. penerimaan pajak
secara nasional; b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak dan/atau Kantor Pelayanan Pajak; c. penerimaan pajak per
jenis pajak; d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; e.
jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; f. register
permohonan Wajib Pajak; g. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau h.
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau
Kantor Pelayanan Pajak.”
Menanggapi permohonan ini, MK
menyatakan bahwa telah terjadi benturan antara dua kepentingan hukum
yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi, yaitu:
Pertama,
kepentingan hukum berupa hak konstitusional Wajib Pajak atas harta
bendanya sebagaimana dimaksud Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, dalam hal ini
jaminan kerahasiaan yang dilindungi undang-undang atas segala informasi
yang telah diberikannya kepada negara (fiskus) berkenaan dengan
kewajibannya untuk membayar pajak menurut prinsip self assessment.
Kedua,
kepentingan hukum berupa kewenangan konstitusional BPK untuk melakukan
pemeriksaan keuangan negara secara bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1)
UUD 1945] sehingga mengharuskannya untuk memeriksa semua dokumen yang
berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara [vide Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU BPK].
Menurut MK, dalam keadaan tersebut, langkah yang telah dilakukan oleh BPK dan Menteri Keuangan dengan membuat memorandum of understanding,
sebagaimana terungkap dalam persidangan tanggal 27 Februari 2008, guna
menjembatani dua kepentingan hukum yang berbenturan itu, untuk
sementara, merupakan jalan keluar yang tepat. Namun, dalam jangka
panjang, harus ada penyerasian antara UU Perpajakan dan UU BPK dan
undang-undang lain yang berkait dengan keuangan negara sehingga menjamin
terlindunginya kedua kepentingan hukum tersebut.
Ditegaskan oleh MK bahwa hal tersebut bukan merupakan kewenangan MK melainkan kewenangan pembentuk undang-undang dalam rangka legislative review.
Bila terjadi kasus di mana terdapat dua kepentingan hukum yang
sama-sama dijamin oleh konstitusi, tidaklah mungkin MK memutuskan
kepentingan yang satu adalah konstitusional, sementara yang lain tidak
konstitusional jika kasus demikian diajukan sebagai permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Hal demikian hanya mungkin terjadi
dalam pelaksanaan kewenangan MK untuk memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Dengan kata
lain, menurut MK, ada ketidakharmonisan antarundang-undang, in casu
UU Perpajakan dan sejumlah undang-undang dalam bidang atau yang berkait
dengan keuangan negara yang menjadi sebab terjadinya benturan antara
dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitusi.
“Sehingga dalam perkara pengujian undang-undang a quo,
yang bukan perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,
tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK
sebagai akibat berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan
Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan”, ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie
membacakan konklusi putusan. Terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi
Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
sumber :
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: www.kabarindonesia.com
Sunday, 17 May 2015
Home »
» Permohonan BPK dalam Pengujian UU Perpajakan Tak Dapat Diterima
0 comments:
Post a Comment